Senin, 04 Mei 2009

Andi Ummu Tunru Mendobrak Tradisi Istana Gowa (Sebuah cataran dari harian KOMPAS) (


Rabu, 08 September 2004

Andi Ummu Tunru Mendobrak Tradisi Istana Gowa

(Kompas 08 september 2004)

http://64.203.71.11/kompas-cetak/0409/08/naper/1246892.htm


MENINGGALKAN istana kerajaan bukan keputusan mudah bagi seorang perempuan berusia 13 tahun. Tetapi, tekad untuk berkesenian dan mendalami dunia tari membuat Andi Ummu Tunru tak hirau. Dia mendobrak tradisi yang masih sangat kental dalam lingkungan Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.

Terlahir sebagai seorang putri dalam lingkungan Kerajaan Gowa membuat Ummu terikat pada aturan untuk menjadi penari kerajaan. Sejak usia sembilan tahun, ia sudah diajar menari oleh beberapa anrong guru (empu/pakar) tari, terutama pakar tari Pakarena di Kerajaan Gowa.

Beruntung, ayah Ummu, yakni Andi Tunru Karaeng Kalluarrang, dan ibunya, Hj Andi Siti Humaya, sangat memahami keputusan Ummu. Ummu "dilepaskan" untuk mencari jati dirinya dan berguru ke tempat lain.

Sekeluar dari istana, Ummu mendatangi Andi Nurhani Sapada, Munasiah Najamuddin, Ida Joesoef Madjid, dan beberapa penari lainnya. Selain itu, dia juga mempelajari naskah-naskah tari dan kebudayaan tradisional dari berbagai daerah di Sulsel.

Tujuannya, untuk menggali dan mengembangkan tari-tari daerah Sulsel sekaligus mengasah kemampuannya. Tak puas hanya di satu sanggar seni, Ummu bergabung dengan beberapa kelompok kesenian tradisi dari berbagai daerah di Sulsel.

Di usia 17 tahun atau empat tahun sekeluarnya dari istana, Ummu kembali "berulah". Saat itu tahun 1968, dibantu keluarganya yang juga masih kerabat kerajaan, yakni Andi Tjonneng Mallombassang, ia mendirikan sanggar seni Batara Gowa.

Kerabat kerajaan "tertampar" karena di sanggar itu Ummu menerima anggota dari berbagai latar belakang. Semua orang di sanggar ini juga punya hak sama mempelajari kesenian apa pun, tari apa pun, termasuk tari Pakarena. Padahal, hanya kerabat atau penari kerajaan yang boleh membawakan tari Pakarena-roh dari tari-tarian yang ada Sulsel. Tari ini hanya boleh dibawakan dalam acara-acara kerajaan.

"Memang keluarga besar saya atau keluarga besar kekerabatan Raja Gowa tidak secara terang-terangan memprotes. Tapi saya tahu betul bahwa segala yang saya lakukan bertentangan dengan kebiasaan atau tradisi yang berlaku," kata Ummu. "Saya hanya ingin menegaskan bahwa kesenian itu tidak memandang latar belakang orang, dan kesenian itu adalah sesuatu yang pantas diketahui, dipelajari, dan didalami oleh siapa pun."

UMMU mengakui, semua yang dilakukannya dan pandangan miring kalangan kerajaan terhadap penari di luar istana membuatnya berada dalam situasi serba sulit. Ini membuatnya makin berhati-hati melangkah.

"Saya jadi bertekad untuk menunjukkan kepada keluarga besar saya bahwa pandangan mereka itu salah. Saya pun ingin menunjukkan bahwa pilihan saya tidak salah. Saya mau membuka mata mereka bahwa saya bisa hidup dan tidak kehilangan harga diri, dengan berkesenian. Saya mau mereka melihat bahwa saya bisa tetap bersikap sebagaimana putra-putri yang lahir dalam lingkungan kerajaan, menjaga nama baik keluarga, di mana pun saya berada," kata ibu dari Andi Nurul Irna Ramadhani , Andi Muh. Redo Paewa , dan Andi Akbar ini.

Tekad dan usaha kerasnya serta pengertian suaminya, Basri B Sila, yang juga seorang komposer dan koreografer membuahkan hasil. Sejumlah tari ciptaan Ummu mendapat perhatian dan dibicarakan. Sebut saja tari Appalili (1974), Kondo Buleng (1979), Bunga Tonjong (1980), Gerhana Matahari (1985), PagaE (1987), Appakase’re (1990), I Yoro, Dendang Rebana (1992), Pakkarena Ma’lino (1998), Appalili II (2001), Kalli-Kalli, Maccule, Asse’re Kana, dan Na’nak (2002).

Tak hanya di Makassar atau daerah lain di Indonesia, Ummu juga kerap tampil di luar negeri. Ia pernah berkolaborasi dengan Eko Suprianto dan beberapa penari luar negeri, seperti di Jepang, Taiwan, Malaysia, dan Singapura. Tahun ini, Ummu menjadi master tari untuk pertunjukan teater tari I Lagaligo yang disutradarai Robert Wilson berkeliling Singapura, Belanda, Spanyol, Italia, Jerman, dan New York.

Semua itu akhirnya mengubah persepsi keluarga, utamanya kerabat kerajaan, tentang kesenian dan penari. Namun, di sebagian kalangan seniman dan orang-orang yang iri, Ummu pernah mendapat gelar sebagai penari pariwisata.

Memang seiring ketenarannya, Ummu dan Batara Gowa-nya teramat sering tampil di setiap pentas seni. Bahkan, di kalangan pengusaha hotel dan perjalanan wisata, sanggar seni Batara Gowa pun jadi langganan.

"Julukan sebagai penari pariwisata membuat saya sakit dan terpukul. Bagi saya, menari itu sudah menjadi jiwa dan sudah ada di kalbu. Makanya saya tidak pernah memilih-milih harus menari di mana atau di tempat seperti apa. Saya pernah menari di kampung yang penontonnya tidak banyak. Saya juga pernah berjalan kaki ke tempat pertunjukan karena mobil yang mengantar rusak. Tapi toh, itu tidak lantas membuat saya menari setengah hati. Saya tetap menari dengan baik sama seperti bila saya menari di panggung dan pentas tari bergengsi di luar negeri," tuturnya.

Bagi Ummu, penggambarannya pada tari seperti seseorang yang berkomunikasi dengan Tuhan-nya. "Tuhan kan tidak mengatur waktu dan tempat untuk berkomunikasi dengan Dia. Kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan di mana pun kita berada dan dalam situasi apa pun," katanya.

Kiprah Ummu akhirnya memupus habis tudingan sebagai penari pariwisata. Apalagi di usianya yang sudah 54 tahun, ia tak berhenti berkarya dan tetap aktif menari. Ia turun langsung melatih anak-anak sanggar Batara Gowa dan menjadi kurator tari di beberapa pentas seni.

Orang akhirnya sadar bahwa Ummu memang menari dengan jiwanya dan ingin terus menari hingga betul-betul tak mampu menari lagi. (RENY SRI AYU TASLIM, Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar